Selamat Datang Di Blog Pribadi Iskandar Daulima, S.H

My New Life

My New Life

Senin, 25 Oktober 2010

Macam-Macam Delik


 1.     Delik Kejahatan dan Pelanggaran
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian tersebut didasarkan atas perbedaan prinsipil. Pembagian kejahatan disusun dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas. Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara. Ada tiga macam kejahatan yang dikenal dalam KUHP yakni:
a.       kejahatan terhadap Negara. Sebagai contohnya adalah Penyerangan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat pada pasal 104 KUHP, Penganiayaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden pada pasal 131 KUHP, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134 KUHP.
b.      kejahatan terhadap harta benda misalnya pencurian pada pasal 362 s/d 367 KUHP, pemerasan pada pasal 368 s/d 371 KUHP, penipuan pada pasal 406 s/d 412 KUHP. Menurut undang-undang pencurian itu dibedakan atas lima macam pencurian yaitu: (a) pencurian biasa pada apsal 362 KUHP, (b) pencurian dengan pemberatan pada pasal 363 KUHP, (c) pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP, (d) pencurian ringan pada pasal 364 KUHP, (e) pencurian dalam kalangan keluarga pada pasal 367 KUHP.
c.       kejahatan terhadap badan dan nyawa orang semisal penganiayaan dan pembunuhan.
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pelanggaran dibagi tiga macam yakni: Pelanggaran tentang keamanan umum, bagi orang, barang dan kesehatan umum. Misalnya, kenakalan yang artinya semua perbuatan orang bertentangan dengan ketertiban umum ditujukan pada orang atau binatang atau baarang yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian atau kerusuhan yang tidak dapat dikenakan dalam pasal khusus dalam KUHP
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran:
1)      Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2)      Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghhadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
3)      Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54).
4)      Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran pidana satu tahun, sedangkan kejahatan dua tahun.
2.      Delik Dolus dan Culpa
Delik dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Contohnya terdapat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Selain pada pasal 338 KUHP, terdapat pula contoh delik dolus lainnya yaitu, pasal 354 KUHPdan pasal 187 KUHP.
Delik culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (kelalaian). Contoh delik culpa yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Culpa dibedakan menjadi culpa dengan kesadaran dan culpa tanpa kesadaran. Culpa kesadaraan terjadi ketika si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, agan tepat timbul masalah. Sedangkan culpa tanpa kesadaran terjadi ketika si pelaku tidan menduga akan timbul suatu akibat, yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya akibat.
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab selalu dianggap dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan. Tidak adanya salah satu dari keduanya tersebut berarti tidak ada kesalahan.



3.      Delik Commissionis dan Delik Ommisionis
Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban pidana.
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik ommisionis terdapat dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.

4.      Delik Formil dan Delik Materiil
Delik Formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik Materiil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, seperti pasal 35 KUHP tentang penganiayaan. Kadang-kadang suatu delik diragukan sebagai delik formil ataukah materiil, seperti tersebut dalam pasal 279 KUHP tentang larangan bigami.

5.      Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Contohnya pasal 341 lebih ringan daripada pasal 342, pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan daripada pasal 305 dan 306.
 Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam pasal 365 terhadap pasal 362, pasal 374 terhadap pasal 372.

6.      Delik Murni dan Delik Aduan
Delik murni yaitu delik yang tanpa permintaan menuntut, Negara akan segara bertindak untuk melakukan pemeriksaan. Berdasarkan pasal 180 KUHAP setiap orang yang melihat, mengalami, mengetahui, menyaksikan, menjadi korban PNS dalam melakukan tugasnya berhak melaporkan.
Delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif.

7.      Delik Selesai dan Delik Berlanjut

Rabu, 20 Oktober 2010

Perbedaan KBps dan kbps

Seringkali kita keliru dalam mengartikan bit dan Byte khususnya kalau sudah masuk dalam ranah internet yang menggunakan satuan Kilo misal KBps atau kbps, padahal keduanya adalah hal yang berbeda satu sama lain khususnya di huruf “B” yang satu menggunakan “B” besar dan satu menggunakan “b” kecil, namun dalam pengucapan sangat sulit dibedakan sehingga sering kali menimbulkan salah pengertian.
Untuk lebih tepatnya untuk KBps kita baca KiloByte per second dan kbps adalah kilobit per second.
Kebanyakan penyedia layanan internet menyebutkan kecepatan akses mereka dengan kbps dan rata-rata kecepatan download yang ditampilkan di komputer adalah KBps, sehingga sering kali muncul pertanyaan dan bahkan komplain dari pengguna internet ke provider, terkadang muncul pertanyaan “dibilang di brosur kecepatannya 128 kbps tapi kok dipakai download dapetnya cuman 16 KBps?”
Sebenarnya kalau dijelaskan lebih detil 1 Byte = 8 bit, sehingga kalau pernyataan diatas dilihat bahwa user mendapatkan download rate 16 KBps x 8 = 128 kbps, adalah benar, bahwa dari pihak provider memberikan kapasitas bandwidth 128kbps atau 16 KBps.
Sebagai contoh lain dengan acuan 1 Byte = 8 bit, maka :
256 kbps sama dengan 258/8 = 32 KBps
1 Mbps Dedicated sama dengan 128 KBps x 8 = 1024 Kbps / 1 Mbps
Jadi sudah seharusnya kita sebagai konsumen internet harus lebih kritis dalam membedakan antara KBps dan kbps.
Nah.. sekrang sudah mengerti bukan???

Sabtu, 16 Oktober 2010

Proposal Pengajuan S1 Hukum (Versi Indonesia )


TINJAUAN YURIDIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU TERHADAP KONSUMEN SUPERMARKET
Tinjauan Tentang Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu perkembangan hukum dalam bidang hukum perjanjian di Indonesia adalah perjanjian baku. Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan.
Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan jasa sudah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini, seperti : perdagangan, pemborongan, perumahan, asuransi, perjalanan wisata dan perbankan. Dibidang perbankan bank sebagai pihak yang secara ekomomis kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan pihak nasabah. Posisi nasabah yang lemah itu digunakan pihak bank untuk kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang besar dari segi ekomoni, namun dari segi tanggung jawab pihak bank melakukan pembatasan tanggung jawab yang dikenal dengan klausula eksonerasi.
Sama halnya juga dengan yang terjadi di sektor perdagangan, meliputi proses jual beli yang terjadi antara konsumen supermarket, toko, ketika membeli sebuah produk dan mendapatkan barang yang cacat atau pun ada hal lain yang menyebabkan konsumen menginginkan bahwa barang tersebut ditukar atau dikembalikan maka serta merta supermarket atau toko tersebut tidak mau menerima komplain dari konsumen tersebut. Ternyata yang terjadi adalah, pada saat konsumen membayar barang yang dibelinya dari toko tersebut didapatinya bahwa struk tanda terima barang di bawahnya tertulis ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”.Hal tersebut yang sangat banyak terjadi di Negara kita, khususnya di daerah Gorontalo.
Berdasarkan penelitian industrialisasi memberikan dampak yang nyata bagi meningkatnya pengunaan kontrak baku dalam berbagai transaksi ekonomi sebab seiring dengan proses industrialisasi meningkat pula berbagai produksi barang dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat.
Indonesia merupakan negara hukum, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke 3 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum” atau yang sering kita kenal dengan istilah “Rechtstaat”, untuk itu sudah sepantasnya segala permasalahan yang akan timbul di tengah masyarakat akan diselesaikan secara hukum pula.
Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, Indonesia memiliki sekiranya sekitar 200.000.000 (dua ratus juta) jiwa bukanlah hal yang kecil. Dari jumlah itu dapat dkatakan bahwa sebahagia besar dari mereka adalah konsumen yang “buta” akan hak-hak mereka. Yang sering dilanggar oleh para Produsen.
Penulisan proposal kali ini akan menitikberatkan kepada permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat, mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen. Penelitian dilapangan banyak ditemukan pelanggaran yang terjadi terutama yang menyangkut perlindungan hak-hak konsumen terhadap perjanjian baku.
Perjanjian baku atau yang yang lebih dikenal dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Kenyataan yang terjadi dilapangan menurut penulis adalah terutama menyangkut masalah klsusula baku ini adalah pada poin 2 (dua) pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni “Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen” namun yang terjadi sebenarnya, banyak took-toko, supermarket yang sengaja mencantumkan klausula baku tersebut di akhir struk pembelian seperti : “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan”’ padahal sebenarnya hal ini dilarang oleh Undang-Undang.
Masih kurangnya pemahaman dari masyarakat akan adanya Undang-Undang ini merupakan kendala tersendiri yang ditemukan dilapangan, banyak konsumen yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang sebenarnya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Jika saja konsumen mengerti posisinya sebagai konsumen dan mengetahui segala hak dan kewajibannya, maka sudah barang tentu pelaku usaha tidak lagi mencantumkannya.
1.2 Rumusan Masalah
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digunakan sejak lama.
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung dibalik “standard Contract atau Perjanjian Baku”, yang nyatanya memberatkan konsumen
Dalam proposal ini saya akan membahas masaalah terkait dengan perlindungan konsumen, dan lebih memfokuskan tentang pelangaran pembuatan kalusula baku, khususnya pada kegiatan jual beli yang sering terjadi di supermarket ataupun pusat perbenlanjaan lainnya
Banyak konsumen yang tidak mengetahui secara langsung bahwa sebenarnya hak-haknya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Akibat ketidaktahuan dari konsumen inilah sehingga membuka cela bagi pelaku usaha untuk seenaknya memperlakukan konsumen sesuka hatinya.
Melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan para pelaku usaha dan konsumen menyadari posisinya masing-masing tentang hak dan kewajiban yang satu sama lain saling berkaitan.
Masalah yang banyak berkembang ditengah-tengah masyarakat menurut pada saat ini adalah banyaknya ditemukan jenis pelanggaran terhadap pencantuman klausula baku yang sebenarnya telah dilarang oleh Undang-Undang. Pencantuman klausula baku tidak dilarang oleh Undang-Undang asalkan tidak ada unsure merugikan terhadap konsumen, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Didalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam bab V tentang ketentuan pencantuman klausula baku yang hanya terdiri dari satu pasal saja yaitu pasal 18.
Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan :
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
Dalam penulisan proposal ini saya sebagai penyusun akan mengangkat masalah mengenai perlindungan pencantuman klausula baku yang lebih spesifikasi terdapat pada Pasal 18 Ayat 1 point 2. Yang berbunyi “ pelaku usaha berhak menolak dan menyerahkan kembali barang yang sudah dibeli konsumen. Menurut hemat saya permasalahan yang satu ini sangat krusial ditengah perkembangan bisnis dan ekonomi dunia khususnya Indonesia.
Pencantuman klausula baku yang seperti saya maksudkan diatas masih banyak ditemukan didunia ekonomi bisnis, waralaba toko-toko, supermarket khusunya yang ada di Kota Gorontalo. Pencantuman klausula baku tersebut sudah nyata-nyata melanggar ketentuan pasa 18 ayat 1, namun masih saja banyak pengusaha / pelaku usaha yang belum mau menerapkannya.
Jika ditinjau dari segi yuridis maka, sebenarnya konsumen sangat diutamakan dalam hal ini, ketidak tahuaan konsumenlah yang membuat peluang bagi pengusaha / pelaku usaha untuk tetap menerapkan klausula baku seperti ini, yang nyata-nyata telah menyesatkan konsumen.
Konsumen dalam hal ini telah dilindungi oleh hukum dan konstitusi yang baik, dan sudah selayaknya kita sebagai orang-orang yang mengerti hukum agar mensosialisasikannya kepada masyarakat, mengingat masih banyak masyarakat yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen.
1.3 Tujuan Dari Kegiatan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan hak konsumen terhadap klausula baku yang diterapkan oleh pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1). Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk mendapatkan jalan keluar masaalah apa bila terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha terkait dengan masaalah pencantuman klausula baku pada Pasal 18 Ayat 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
3. Mencari unsus sosiologis dan historis dari masalah ini, mengapa pelaku usaha di Indonesia khususnya di Gorontalo masih tetap meberlakukan klausula baku ini.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan membarikan manfaat, diantaranya sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritik
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dibidang hukum perjanjian dan hukum perlindungan konsumen.
b. Memberikan bahan perbandingan dan atau menambah kepustakaan dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya
c. Memberikan gambaran dasar mengenai klausula baku dalam perjanjian pada umumnya, khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen
a. konsumen.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmuyang diperoleh
b. Hasil penelitian ini sebagai bahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis, serta sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana hukum Universitas Ichsan Gorontalo.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, dan berguna bagi pihak-pihak yang berminat pada masalah yang sama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
1. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
3. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
2. Cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
3. Suatu hal tertentu;Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. suatu sebab atau causa yang halal. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
C. Azas - Azas Perjanjian
Di dalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota masyarakat. Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. Selanjutnya Sri Soemantri Martosuwignjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif dan niscayaan yang memaksa.
Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya dan Perjanjian Baku pada khususnya.
Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut :
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hakhak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketentuan ini berbunyi :
“Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka, kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia
2. Azas Konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedang dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata -kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
Adapun menurut A. Qirom Syamsudin, Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan demikian dalam perjanjian antara ini plasma harus didasari kesepakatan untuk mengadakan kerjasama usaha.
3. Azas Itikad Baik
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) asas itikad baik ini diatur. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak padaa seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. sedangkn itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang paatut dalam masyarakat.
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 ter sebut.
4. . Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
4. Asas Pacta Sunservanda (Asas Kekuatan Mengikat)
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Pengertian lain mengenai perlindungan konsumen juga dapat kita lihat dibawah ini yakni :
A. Menurut Undang-undang
Menurut Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pasal 1 butir 2“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
B. Menurut Hornby :
“Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Dalam undang-undang perlindungan konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”. Tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen inii adalah :
1. untuk memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya
2. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi
3. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.
Kepastian hukum yang dijamin dalam perlindungan konsumen ini adalah segala proses pemenuhan kebutuhan konsumen yaitu sejak benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan pemakaman, dan segala kebutuhan diantara kedua masa itu. Dalam hal ini pemberdayaan konsumen untuk memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian melindungi diri sendiri dari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Pemberdayaan konsumen juga ditujukan agar konsumen memiliki daya tawar yang seimbang dengan pelaku usaha.
Konsumen sendiri dalam pengertian hukum perlindungan konsumen memiliki beberapa pengertian yaitu konsumen umum (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk kebutuhan tertentu), konsumen antara (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial), dan konsumen akhir (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali).
Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Sedangkan konsumen antara adalah dipersamakan dengan pelaku usaha.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha sehat.
Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang ilmu hukum. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral . dalam science tree hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust dan Consumers Protection. Jadi hukum perlindungan konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum.
Bahwa inti pokok dari upaya perlindungan konsumen adalah“ pemberian jaminan bagi masyarakat agar didalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang diwujudkan pada perilaku konsumsinya dapat berjalan sesuai dengan norma dan tata caray ang baik dan benar.”
2.2 Pengertian Klausula Baku

Proposal Pengajuan S1 Hukum (English Versions)


TINJAUAN YURIDIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU TERHADAP KONSUMEN SUPERMARKET Juridical REVIEW CLAUSE LISTING ON CONSUMER STANDARD SUPERMARKET
Tinjauan Tentang Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen” "Evaluation of Article 18 Paragraph 1 of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection"


BAB I CHAPTER I
PENDAHULUAN INTRODUCTION
    1. Latar Belakang Masalah Background
    Salah satu perkembangan hukum dalam bidang hukum perjanjian di Indonesia adalah perjanjian baku. One of the legal developments in the field of contract law in Indonesia is the standard agreement. Perjanjian baku merupakan suatu bentuk perjanjian yang berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang sudah dibakukan. Standard agreement is a form of agreement containing the rights and obligations of both parties are realized in the form of writing that has been standardized.
    Hampir semua hubungan hukum yang menyangkut barang dan jasa sudah dikuasai oleh bentuk perjanjian ini, seperti : perdagangan, pemborongan, perumahan, asuransi, perjalanan wisata dan perbankan. Almost all legal relationships concerning goods and services already controlled by form of agreement, such as: trade, chartering, housing, insurance, travel and banking. Dibidang perbankan bank sebagai pihak yang secara ekomomis kuat, biasanya menetapkan syarat-syarat baku secara sepihak tanpa lebih dahulu merundingkannya dengan pihak nasabah. Posisi nasabah yang lemah itu digunakan pihak bank untuk kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang besar dari segi ekomoni, namun dari segi tanggung jawab pihak bank melakukan pembatasan tanggung jawab yang dikenal dengan klausula eksonerasi. Bank banking field as a party that is economically strong, usually set standard terms unilaterally without prior deliberate with the customer. The weak position of customers used the bank for the opportunity to gain a great advantage in terms of ekomoni, but in terms of responsibility the bank did limitation of liability clause, known as eksonerasi.
    Sama halnya juga dengan yang terjadi di sektor perdagangan, meliputi proses jual beli yang terjadi antara konsumen supermarket, toko, ketika membeli sebuah produk dan mendapatkan barang yang cacat atau pun ada hal lain yang menyebabkan konsumen menginginkan bahwa barang tersebut ditukar atau dikembalikan maka serta merta supermarket atau toko tersebut tidak mau menerima komplain dari konsumen tersebut. Similarly to what happened in the trade sector, including buying and selling process that occurs between the consumer supermarkets, shops, when buying a product and get the goods were defective or something else is causing consumers want the goods that are then exchanged or refunded immediately supermarket or the store would not accept complaints from consumers. Ternyata yang terjadi adalah, pada saat konsumen membayar barang yang dibelinya dari toko tersebut didapatinya bahwa struk tanda terima barang di bawahnya tertulis ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan”.Hal tersebut yang sangat banyak terjadi di Negara kita, khususnya di daerah Gorontalo. Apparently what happens is, when consumers pay for goods bought from the store he found that receipt of receipt of goods at the written underneath "Goods purchased can not be exchanged or refunded". This is very much happening in our country, especially in regions of Gorontalo .
    Berdasarkan penelitian industrialisasi memberikan dampak yang nyata bagi meningkatnya pengunaan kontrak baku dalam berbagai transaksi ekonomi sebab seiring dengan proses industrialisasi meningkat pula berbagai produksi barang dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat. Based on the industrialization of research have a significant impact for the increased use of standard contracts in a variety of economic transactions because along with the industrialization process also increases the production of various goods and services offered to the public.
    Indonesia merupakan negara hukum, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke 3 Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum” atau yang sering kita kenal dengan istilah “ Rechtstaat” , untuk itu sudah sepantasnya segala permasalahan yang akan timbul di tengah masyarakat akan diselesaikan secara hukum pula. Indonesia is a country of law, as contained in the Constitution of the State of Indonesia Year 1945 Amendment 3 of Article 1 paragraph (3) "State of Indonesia is a country of law" or that we often familiar with the term "Rechtstaat", it is sensible for all the problems that will arise in the community will be resolved legally anyway.
    Dilihat dari jumlah penduduk Indonesia, Indonesia memiliki sekiranya sekitar 200.000.000 (dua ratus juta) jiwa bukanlah hal yang kecil. Judging from the total population of Indonesia, Indonesia have if approximately 200,000,000 (two hundred million), the soul is not small. Dari jumlah itu dapat dkatakan bahwa sebahagia besar dari mereka adalah konsumen yang “buta” akan hak-hak mereka. Of that amount to dkatakan that as happy as they are large consumers of the "blind" to their rights. Yang sering dilanggar oleh para Produsen. Which is often violated by the Manufacturer.
    Penulisan proposal kali ini akan menitikberatkan kepada permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat, mengingat banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap hak-hak konsumen. Writing this proposal will focus on the problems often faced by the society, considering the number of violations committed by business actors to the rights of consumers. Penelitian dilapangan banyak ditemukan pelanggaran yang terjadi terutama yang menyangkut perlindungan hak-hak konsumen terhadap perjanjian baku. Field research found many violations that occur particularly with respect to the protection of consumer rights against default agreement.
    Perjanjian baku atau yang yang lebih dikenal dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Raw Agreement or better known as the standard clause is any rules or terms and conditions that have been prepared in advance and set unilaterally by businesses set forth in a document and / or a binding contract and must be fulfilled by the consumer.
    Kenyataan yang terjadi dilapangan menurut penulis adalah terutama menyangkut masalah klsusula baku ini adalah pada poin 2 (dua) pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yakni “Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen” namun yang terjadi sebenarnya, banyak took-toko, supermarket yang sengaja mencantumkan klausula baku tersebut di akhir struk pembelian seperti : “ barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan”' padahal sebenarnya hal ini dilarang oleh Undang-Undang. The fact that happened in the field according to the author is mainly related to raw klsusula problem is at point 2 (two) of Article 18 paragraph 1 of Law No. 8 of 1999 on consumer protection, namely "Business actors shall be entitled to refuse delivery of returned goods bought by consumers" but who happen in fact, many stores, supermarkets deliberately put the standard clause at the end of receipt of purchase such as: "goods that are purchased can not be exchanged / returned" "but this is prohibited by the Act.
    Masih kurangnya pemahaman dari masyarakat akan adanya Undang-Undang ini merupakan kendala tersendiri yang ditemukan dilapangan, banyak konsumen yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya yang sebenarnya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Still lack of understanding of the community will be the present law is a constraint found in the field, many consumers who do not know your rights and obligations actually been protected by the Act. Jika saja konsumen mengerti posisinya sebagai konsumen dan mengetahui segala hak dan kewajibannya, maka sudah barang tentu pelaku usaha tidak lagi mencantumkannya. If consumers understand their position as consumers and find out all the rights and obligations, then of course the business was no longer include them.
1.2 Rumusan Masalah 1.2 Problem Formulation
    Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, meskipun mengenai perlunya peraturan perundang-undangan yang komprehensif bagi konsumen tersebut sudah digunakan sejak lama. Consumer protection is a fairly new thing in the laws and regulations in Indonesia, although the need for legislation of comprehensive for consumers has been used since long.
    Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat merugikan kepentingan masyarakat. Consumer powerlessness in the face of the business is obviously very detrimental to the interests of society. Pada umumnya pelaku usaha berlindung dibalik “ standard Contract atau Perjanjian Baku” , yang nyatanya memberatkan konsumen In general, the business took refuge behind the "Standard Contract or the Treaty of Baku", which in fact burden consumers
    Dalam proposal ini saya akan membahas masaalah terkait dengan perlindungan konsumen, dan lebih memfokuskan tentang pelangaran pembuatan kalusula baku, khususnya pada kegiatan jual beli yang sering terjadi di supermarket ataupun pusat perbenlanjaan lainnya In this proposal I will discuss masaalah related to consumer protection, and more focus on raw kalusula manufacturing violations, especially in buying and selling activities that often occur at the supermarket or other perbenlanjaan center
    Banyak konsumen yang tidak mengetahui secara langsung bahwa sebenarnya hak-haknya telah dilindungi oleh Undang-Undang. Akibat ketidaktahuan dari konsumen inilah sehingga membuka cela bagi pelaku usaha untuk seenaknya memperlakukan konsumen sesuka hatinya. Many consumers who do not know directly that in fact his or her rights have been protected by the Act. Due to the ignorance of consumers is thus open for business reproach to arbitrarily treat the consumer as he pleased.
    Melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka diharapkan para pelaku usaha dan konsumen menyadari posisinya masing-masing tentang hak dan kewajiban yang satu sama lain saling berkaitan. Through Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, it is expected that business people and consumers aware of the position of each of the rights and obligations related to one another.
    Masalah yang banyak berkembang ditengah-tengah masyarakat menurut pada saat ini adalah banyaknya ditemukan jenis pelanggaran terhadap pencantuman klausula baku yang sebenarnya telah dilarang oleh Undang-Undang. The problem that many developing in the midst of society by today is found in many types of offenses against the inclusion of the actual standard clause has been prohibited by the Act. Pencantuman klausula baku tidak dilarang oleh Undang-Undang asalkan tidak ada unsure merugikan terhadap konsumen, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 (1) Undang-Undang No. Inclusion of standard clauses are not prohibited by the Act provided that no element of harm to consumers, as described in Article 18 (1) of Law No. 8 Tahun 1999 8, 1999
    Didalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen ketentuan mengenai klausula baku ini diatur dalam bab V tentang ketentuan pencantuman klausula baku yang hanya terdiri dari satu pasal saja yaitu pasal 18. In the Law on consumer protection provisions of this standard clause set out in chapter V of the provisions of standard clause stating that only consists of one chapter, ie chapter 18.
    Pasal 18 tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Article 18 is in principle set up two kinds of restrictions that apply to businesses that make standard agreements and / or to include standard clauses in the agreement made by him. Dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan : The provisions of Article 18 paragraph (1) said that the perpetrators of business in offering goods and / or services intended for trading is prohibited from making or standard clause included in each document and / or a standard clause in which the agreement will result in:
    1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen; The transfer of responsibility from businesses to consumers;
    2. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; Business agents the right to refuse delivery of returned goods bought by consumers;
    3. Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen; Business agents the right to refuse delivery of the money paid for goods or services purchased by consumers;
    4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran; Giving the power of consumer to business actors, either directly or indirectly to conduct any unilateral actions relating to goods purchased in installments;
    5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen; Adjusting for the loss of evidence regarding the use of goods or use services bought by consumers;
    6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; Giving rights to businesses to reduce benefits or services to reduce consumers' wealth is the object of sale and purchase of services;
    7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya Consumer submission to the rules of the new rules, additional or advanced and / or alteration made unilaterally advanced by businesses in the consumer uses the service he bought
    8. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; Consumer authorize the loading business for mortgages, liens, guarantees rights to the goods purchased by consumers in installments;

    Dalam penulisan proposal ini saya sebagai penyusun akan mengangkat masalah mengenai perlindungan pencantuman klausula baku yang lebih spesifikasi terdapat pada Pasal 18 Ayat 1 point 2. In writing this proposal as a constituent I would raise issues regarding the protection of the inclusion of a more standard specification clauses contained in Article 18 section 1 point 2. Yang berbunyi “ pelaku usaha berhak menolak dan menyerahkan kembali barang yang sudah dibeli konsumen. Which reads "the right to refuse business and hand back the goods that have been bought by consumers. Menurut hemat saya permasalahan yang satu ini sangat krusial ditengah perkembangan bisnis dan ekonomi dunia khususnya Indonesia. In my opinion the problems that one is very crucial amid the world of business and economic development, especially Indonesia.
    Pencantuman klausula baku yang seperti saya maksudkan diatas masih banyak ditemukan didunia ekonomi bisnis, waralaba toko-toko, supermarket khusunya yang ada di Kota Gorontalo. Inclusion of standard clauses such as the above I mean there are still many economies in the world of business, franchise stores, especially supermarkets in the city of Gorontalo. Pencantuman klausula baku tersebut sudah nyata-nyata melanggar ketentuan pasa 18 ayat 1, namun masih saja banyak pengusaha / pelaku usaha yang belum mau menerapkannya. Inclusion of standard clauses have been clearly violated the provisions pasa 18 paragraph 1, but still just a lot of businessmen / entrepreneurs who do not want to implement it.
    Jika ditinjau dari segi yuridis maka, sebenarnya konsumen sangat diutamakan dalam hal ini, ketidak tahuaan konsumenlah yang membuat peluang bagi pengusaha / pelaku usaha untuk tetap menerapkan klausula baku seperti ini, yang nyata-nyata telah menyesatkan konsumen. If viewed from the juridical aspect, the consumer is actually highly preferred in this case, lack tahuaan consumers who create opportunities for entrepreneurs / businessmen to continue to adhere to this standard clause, which obviously has been misleading consumers.
    Konsumen dalam hal ini telah dilindungi oleh hukum dan konstitusi yang baik, dan sudah selayaknya kita sebagai orang-orang yang mengerti hukum agar mensosialisasikannya kepada masyarakat, mengingat masih banyak masyarakat yang belum mengetahui hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Consumers in this case have been protected by law and the constitution is good, and it is proper we as the people who understand the law to disseminate to the public, since there are many people who do not know your rights and obligations as a consumer.
1.3 Tujuan Dari Kegiatan Penelitian 1.3 Objectives Of Research Activities
    Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : The purpose of this study are as follows:
    1. Untuk mendeskripsikan hak konsumen terhadap klausula baku yang diterapkan oleh pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (1). To describe the consumer's rights against the standard clause adopted by businesses in accordance with the provisions of Article 18 Paragraph (1). Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Law No. 8 / 1999 on Consumer Protection.
    2. Untuk mendapatkan jalan keluar masaalah apa bila terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha terkait dengan masaalah pencantuman klausula baku pada Pasal 18 Ayat 1. To get way out masaalah what if there is a dispute between the consumer and business related to the inclusion masaalah standard clause in Article 18 Paragraph 1. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Law No. 8 / 1999 on Consumer Protection.
    3. Mencari unsus sosiologis dan historis dari masalah ini, mengapa pelaku usaha di Indonesia khususnya di Gorontalo masih tetap meberlakukan klausula baku ini. Looking unsus sociological and historical from this problem, why business actors in Indonesia especially in Gorontalo still currently operate this standard clause.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4 Benefits of Research
    Penelitian ini diharapkan membarikan manfaat, diantaranya sebagai berikut : This research is expected membarikan benefits, including the following:
  1. Manfaat Teoritik Theoretical Benefits
    1. Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dibidang hukum perjanjian dan hukum perlindungan konsumen. The result is expected to benefit the development of legal science, especially in the field of contract law and consumer protection laws.
    1. Memberikan bahan perbandingan dan atau menambah kepustakaan dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya Provide comparative material and or add to the literature in the field of legal science in general and consumer protection laws in particular
    2. Memberikan gambaran dasar mengenai klausula baku dalam perjanjian pada umumnya, khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen Provide a basic overview of the standard clause in the agreement in general, with particular regard to consumer protection
    3. konsumen. consumers.

  1. Manfaat Praktis Practical Benefits
    1. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmuyang diperoleh To further develop the reasoning, form a dynamic mindset as well as to determine the ability of the author in applying the acquired ilmuyang
    1. Hasil penelitian ini sebagai bahan pengetahuan dan wawasan bagi penulis, serta sebagai syarat untuk memenuhi tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana hukum Universitas Ichsan Gorontalo. The results of this study as the material of knowledge and insight to the author, as well as to fulfill the final requirement to obtain a law degree at the University Ichsan Gorontalo.
    2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini, dan berguna bagi pihak-pihak yang berminat pada masalah yang sama . The results of this study is expected to help and give input as well as additional knowledge for the parties on issues related to this research, and useful for those interested in similar problems.


BAB II CHAPTER II
TINJAUAN PUSTAKA LITERATURE REVIEW
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian About the Agreement 2.1 Review
    A. A. Pengertian Perjanjian Understanding Agreement
    Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih An agreement is an act by which one or more persons mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). tying himself to one or more other persons (Article 1313 Civil Code). Pengertian Definition perjanjian ini mengandung unsur : This agreement contains the following elements:
    1. Perbuatan, Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum , karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan; The act, use of the word "act" in the formulation of this Agreement is more appropriate if the word is replaced with a legal action or legal action, because such actions carry legal consequences for the parties to the pledge;
    2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. One or more persons against one or more other persons, for the existence of a treaty, at least there should be two parties confront each other and give each other a suitable statement / fit each other. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. Such party is a person or legal entity.
    3. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Strapped himself, In the agreement there are elements of the promise given by one party to another party. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. In this agreement, people are bound to the legal consequences that arise because of his own.
    B. Syarat sahnya Perjanjian B. Term of validity of the Agreement
    Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus In order for an agreement to be valid and binding on the parties, the agreement should memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu : meet the requirements as stipulated in Article 1320 Civil Code, namely:
    1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). agreed those who bind themselves; word "agreed" should not be caused by an oversight on the essence of the goods the subject of self-approval or oversight regarding the other party in the agreement, especially considering he was the person; of coercion in which a person acts because of fear of the threat (Article 1324 BW); the existence of fraud is not only about the lies but also a ruse (Article 1328 Civil Code). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan. To the treaty which was made on the basis of "agreed" on the basis of these reasons, the cancellation may be filed.
    2. Cakap untuk membuat perikatan; Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : Competent to make the engagement; Article 1330 Civil Code determines that no competent to make the engagement:
      1. Orang-orang yang belum dewasa People who have not grown
      1. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan They are placed under guardianship
      2. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Those women, in cases specified by law, and in general all persons to whom the law has banned the making of certain covenants. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. However, based on the fatwa of the Supreme Court, through the Supreme Court Circular No.3/1963 dated September 5, 1963, those women are no longer classified as incompetent. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. They are authorized to perform any legal act without assistance or consent of her husband. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW). As a result of agreements made by parties who are not proficient is null and void (Article 1446 Civil Code).
    1. S uatu hal tertentu;Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. S Uatu certain things; The agreement must specify the type of object agreement. If not, then the agreement was null and void. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Article 1332 Civil Code determines only goods that can be traded can be the object of the agreement, and pursuant to Article 1334 BW new items will exist in the future can be the object of the agreement except where prohibited by law strictly.
    1. suatu sebab atau causa yang halal. a cause or a lawful causa. Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Causa validity of an agreement determined at the time the agreement was made. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Agreement without the lawful causa is null and void, unless stipulated otherwise by law. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. The first condition and the second concerning the subject, while the third and fourth terms on the object. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. The presence of defects will (mistakenly, coercion, fraud) or not competent to make the engagement, on the subject resulted in an agreement may be canceled. Meanwhile, when the third and fourth terms on the object are not met, then the agreement null and void.
    C. C. Azas - Azas Perjanjian Principle - Principle Agreement
    Di dalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan pundamen. Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota masyarakat. In the dictionary translates as basic scientific principles, basic, and pundamen. While Solly Lubis claimed is the basic principle of life which is the development of values that promoted the foundation of relations among members of the public. Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan dibelakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. As for Paul Scholten provide a definition of the legal principle is the basis of the thoughts contained in and behind the respective legal systems formulated in the rules of legislation and legal decisions relating to the provisions and individual decisions can be viewed as penjabarannya .
    Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut maksud dan tujuan peraturan menjadi jelas. Thus, any legislation necessary to have a principle, because this principle that underlies or animates or support legislation and with the principle that the intent and purpose of the rules became clear. Selanjutnya Sri Soemantri Martosuwignjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan “beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir. Next Sri Soemantri Martosuwignjo have argued that the principle of equivalent word to "beginsel" (Netherlands) or "principle" (UK) as a truth which becomes the principal basis or pedestal thinking. Asas hukum adalah dasar normatif untuk membedakan antara daya ikat normatif dan niscayaan yang memaksa. The principle of law is the normative basis for distinguishing between the normative and niscayaan belt force.
    Dengan demikian dalam melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada harus juga memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya dan Perjanjian Baku pada khususnya. Thus the agreement was entered into in addition to the existing provisions should also pay attention to the principles contained in the contract law in general and Baku Agreement in particular.
    Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah sebagai berikut : The legal principles contained in the legal agreement are as follows:
    1. Asas Kebebasan Berkontrak The principle of freedom of contract
    Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. The law adopts a closed object, while the Law of Treaties adopted an open system. Artinya macam-macam hak atas benda adalah terbatas dan peraturan-peraturan yang mengenai hakhak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan . This means that the various rights to the objects is limited and regulations regarding the rights of the object that is forced, while the Law of Treaties provides the widest freedom to the people for an agreement that contains just about anything, provided it does not violate public order and decency.
    Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. The principle of freedom of contract has a close relationship with konsensualisme principle and the principle of binding force contained in Article 1338 Paragraph (1) The Book of Law Civil Law. Ketentuan ini berbunyi : This provision reads:
    “Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. "All of Approval made legally valid as the law for those who make it".
    “Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. "All" means covering the entire agreement, both whose name is known or not known by the law. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai Pasal 1320 KUH Perdata mempunyai kekuatan mengikat. The principle of freedom of contract (contractvrijheid) associated with the contents of the agreement, namely the freedom to determine "what" and with "whom" the deal held. Agreement that done in accordance with Article 1320 Civil Code has a binding force. Dengan demikian maka, kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam Hukum Perjanjian. Thus, freedom of contract is one of the most important principle in the Law of Treaties. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia This freedom is the embodiment of free will, radiant human rights
    1. Azas Konsensualisme Principle Konsensualisme
    Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata. This principle can be found in Article 1320 Civil Code and Article 1338 Civil Code. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedang dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. In Article 1320 Civil Code is explicit mention in Article 1338 Civil Code is found in the term "all". Kata -kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi ke semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya ( will), yang dirasakannya baik untuk menciptakan perjanjian. These words all indicate that each person be given to all the shows that everyone is given the opportunity to express his desire (will), he felt good to create the agreement. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. This principle is very closely related to the principle of freedom of contract.
    Adapun menurut A. As according to A. Qirom Syamsudin, Asas konsesualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa dikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. Qirom Syamsudin, konsesualisme principle implies that in an agreement there is enough agreement from those who make the treaty, without followed by legal actions other than formal agreements. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Thus we can say that, since the agreement was binding on the achievement of an agreement on the subject of the agreement. In Article 1320 paragraph (1) Civil Code stipulated that the agreement or contract is not valid if made without any consensus or agreement of the parties who made it. Dengan demikian dalam perjanjian antara ini plasma harus didasari kesepakatan untuk mengadakan kerjasama usaha. Thus the agreement between this plasma must be based on an agreement to hold a business cooperation.
    1. Azas Itikad Baik The principle of good faith
    Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) asas itikad baik ini diatur. In the draft Civil Code Section 1338 subsection (3) the principle of good faith is regulated. Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. The principle of good faith is very basic and important to note, especially in making agreement, the intent here is to act in good faith as a private good. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak padaa seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. sedangkn itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang paatut dalam masyarakat. Good faith in a very subjective sense can be interpreted as seseoraang honesty, that is what lies at the time a person padaa diaadakan legal acts. Sedangkn good faith in the objective sense is that the execution of an agreement must be based on norms of decency or what is deemed appropriate by yang paatut in society.
    Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Then, according to Munir Fuady, the formulation of Section 1338 subsection (3) is identified that is actually good faith is not a legal conditions of contract as the terms contained in Article 1320 Civil Code. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. The element of good faith is only hinted at in terms of "implementation" of a contract, rather than the "creation" of a contract. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsure “kausa yang legal” dari Pasal 1320 ter sebut. Because the element of "good faith" in terms of making a contract already be covered by elements of "legal movement" of Article 1320 was called.
4. . Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel) 4.. The principle Trust (Vertrouwensbeginsel)
    Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, A person who entered into an agreement with another party, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu generate trust between both parties was that one sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi each other will keep that promise, in other words, will meet prestasinya di belakang hari. achievement later on. Tanpa adanya kepercayaan itu tidak Without the belief that no mungkin akan diadakan oleh para pihak. may be held by the parties. Dengan kepercayaan ini, With this belief, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu both parties bind themselves and to both the agreement mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. have binding force as law.
    1. Asas Pacta Sunservanda (Asas Kekuatan Mengikat) Pacta Sunservanda principle (principle of Binding Strength)
    Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan di dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Then the third can be deduced in the perjanjiaan contained a binding principle. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Binding the parties to the agreement was not solely limited to what was agreed but also against several other elements along desired by custom and propriety, and moral. Demikianlah sehingga asas - asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak. So that principle - the principle of morality, decency and the habits that bind the parties.
    Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang. The principle of binding force or facta sun servanda principle can be found in Article 1338 paragraph (1) Civil Code which states that: "All the approvals are made legally valid as the law for those who make it." The intent of this principle is nothing but to obtain legal certainty for the parties, since the fulfillment of legal conditions of the agreement since the agreement binding on the parties as the law.
2.1 Pengertian Perlindungan Konsumen 2.1 Definition of Consumer Protection
    Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang didalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak konsumen. Pengertian lain mengenai perlindungan konsumen juga dapat kita lihat dibawah ini yakni : Consumer protection is an organized effort in which there are elements of the government, consumers, and entrepreneurs who are honest and responsible for promoting the rights of consumers. Understanding relating to consumer protection also can be seen below namely:
  1. Menurut Undang-undang According to Law
    Menurut Undang-Undang no. According to Law no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen : Pasal 1 butir 2“ Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 8 of 1999 on Consumer Protection: Article 1 point 2 "Consumer means any user of the goods and / or services that are available in the community, both for the interests of self, family, others, as well as other living beings and not for trading".
  1. Menurut Hornby : According to Hornby:
    “Konsumen (consumer) adalah seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa; seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu; sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang; setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”. "Consumers (consumer) is a person who buys goods or uses services; a person or company who buy certain goods or use certain services; something or someone who uses a stock or a number of items, each person who uses goods or services".
    Dalam undang-undang perlindungan konsumen dikatakan bahwa perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen”. Tujuan yang ingin dicapai dari perlindungan konsumen inii adalah : In the consumer protection laws say that consumer protection was "all efforts to ensure the certainty of the law to give legal protection to consumers." The goal of consumer protection inii are:
    1. untuk memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya to empower consumers in selecting, determining the goods and / or services needs and demand their rights
    2. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi creating a consumer protection system that includes elements of legal certainty, transparency of information, and access to information
    3. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab. business awareness of the importance of consumer protection so that the growing attitude of honest and responsible.

    Kepastian hukum yang dijamin dalam perlindungan konsumen ini adalah segala proses pemenuhan kebutuhan konsumen yaitu sejak benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan pemakaman, dan segala kebutuhan diantara kedua masa itu. Legal certainty is guaranteed in this consumer protection is all the process of fulfilling the needs of consumers since the seed of life within the mother's womb until the funeral, and all the needs of the second period. Dalam hal ini pemberdayaan konsumen untuk memiliki kesadaran, kemampuan, dan kemandirian melindungi diri sendiri dari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. In this case the empowerment of consumers to have the awareness, ability, and independence to protect yourself from a variety of negative excesses of consumption, use, and utilization of goods and / or service needs. Pemberdayaan konsumen juga ditujukan agar konsumen memiliki daya tawar yang seimbang dengan pelaku usaha. Consumer Empowerment is also intended to allow consumers to have a balanced bargaining power with the business.
    Konsumen sendiri dalam pengertian hukum perlindungan konsumen memiliki beberapa pengertian yaitu konsumen umum (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk kebutuhan tertentu), konsumen antara (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial), dan konsumen akhir (pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau rumah tangganya dengan tujuan tidak untuk memperdagangkan kembali). Consumers own consumer protection laws in the sense of having some understanding of the general consumer (user, users, users of the goods and / or services to specific needs), the consumer between the (user, users, users of the goods and / or services to trade it, with commercial purposes), and the final consumer (user, users, users of the goods and / or services to meet the needs of themselves or their households in order not to trade again).
    Konsumen dalam terminologi konsumen akhir inilah yang dilindungi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Consumers in terms of final consumer is protected under the consumer protection laws. Sedangkan konsumen antara adalah dipersamakan dengan pelaku usaha. While consumers between is equated with the business.
    Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa ; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif ; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. Consumer Protection Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection of the Republic of Indonesia explained that consumer rights including the right to comfort, security and safety in consuming goods and or services ; the right to choose the goods and or services and to acquire goods and or services in accordance with exchange rates and the condition and guarantee the promised; right to be treated or serviced properly and honestly and not discriminatory ; the right to obtain compensation, restitution and / or replacement, if the goods or services received is not in accordance with the agreement or not as it should; and so forth.
    Dalam penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya, sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha sehat. In the explanation of the Consumer Protection Act states that the legal tools that protect consumers are not intended to be lethal to shut down the business of business, but quite the contrary, because of consumer protection can encourage a healthy business climate.
    Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu bidang ilmu hukum. Consumer protection law is one area of jurisprudence. Kedudukannya cenderung bercorak cross sectoral . Position tend to be patterned cross-sectoral. dalam science tree hukum berdasarkan data dari konsorsium ilmu hukum, hukum konsumen digabungkan dengan hukum persaingan dengan nama Antitrust dan Consumers Protection. Jadi hukum perlindungan konsumen hanya ranting kecil dari pohon hukum. tree in the science of law based on data from a consortium of law, consumer law combined with competition law by the name of the Antitrust and Consumers Protection. So the consumer protection law is only a small twig from the tree law.
    Bahwa inti pokok dari upaya perlindungan konsumen adalah“ pemberian jaminan bagi masyarakat agar didalam pemenuhan kebutuhan hidupnya yang diwujudkan pada perilaku konsumsinya dapat berjalan sesuai dengan norma dan tata caray ang baik dan benar.” That the core principal of efforts to protect consumers is "giving assurance to the community for the fulfillment in life that manifested in their consumption behavior can be run in accordance with the norms and procedures of Caray ang good and true."
2.2 Pengertian Klausula Baku Clause 2.2 Definition of Raw